Mahasiswi Penerbitan Politeknik Negeri Media Kreatif

Selasa, 27 Mei 2025

“Tahta Mas Rangsang”

“Tahta Mas Rangsang”: Lantai Panggung Menyala oleh Gairah Sejarah Bercampur dengan Jiwa Seni Tari


Panggung gemetar. Lampu sorot berpendar lembut. Puluhan penari bersatu dalam gerak yang anggun namun menggelegar, menyuarakan kisah masa lalu yang terlupakan. Malam itu, Sanggar Tari Swargaloka menghadirkan sebuah suguhan megah bertajuk “Tahta Mas Rangsang” — dan para penonton tahu, mereka sedang menyaksikan lebih dari sekadar pertunjukan. Mereka sedang menyaksikan sebuah kebangkitan.

Dalam gelap yang tenang, satu per satu sorotan lampu menyala di atas panggung. Musik tradisional mulai mengalun, perlahan namun menghunjam. “Tahta Mas Rangsang” bukan hanya sebuah tarian. Ini adalah fragmen sejarah yang dibangkitkan lewat tubuh dan gerak, kisah seorang raja Jawa yang tak hanya dikenal karena keberaniannya di medan perang, tetapi juga karena jiwanya yang lekat dengan kesenian, spiritualitas, dan cinta akan kemanusiaan.


Menelusuri Jejak Rangsang, Raja yang Juga Manusia

Sumber Foto: Tri Atmidini

Tari ini terinspirasi dari sosok Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja legendaris dari Mataram Islam yang nama kecilnya adalah Raden Mas Rangsang. Namun, Swargaloka tidak memilih narasi besar tentang peperangan atau kejayaan semata. Mereka justru menampilkan sisi yang lebih sunyi dan manusiawi dari sang raja — Rangsang sebagai pribadi yang bergulat antara kekuasaan dan kerinduan akan ketenangan jiwa.

Tari ini menyajikan representasi mendalam dari sosok pemimpin yang tidak hanya dihormati karena tahtanya, melainkan juga karena kemampuannya menelusuri makna hidup yang lebih esensial. Kekuatan sejati, dalam pertunjukan ini, tampak bukan berasal dari mahkota dan pedang, melainkan dari perjuangan batin dan kesadaran spiritual.


Gerak yang Menyentuh dan Menggetarkan

Sumber Foto: Tri Atmidini

Yang membuat penampilan ini begitu berkesan adalah perpaduan antara elemen tari klasik Jawa dengan sentuhan kontemporer yang terjalin begitu alami. Para penari Swargaloka tampil dalam kostum batik sogan khas keraton, dililit rapi di tubuh-tubuh yang sebagian besar tak berbalut atasan. Bukan sekadar estetika tubuh, melainkan simbolisasi dari kerentanan dan kekuatan yang berpadu dalam harmoni budaya Jawa.

Gerakan mereka mengalir seperti air, namun setiap hentakan kaki dan kibasan tangan membawa intensitas emosional yang kuat. Ada rasa rindu, amarah, ketaklukan, dan cinta, semua bergantian menyapa batin penonton. Tak berlebihan bila banyak yang menahan napas, seolah takut mengganggu dialog bisu antara panggung dan jiwa mereka sendiri.


Dialektika Kekuasaan dan Kemanusiaan

Sumber Foto: Tri Atmidini

Judul “Tahta Mas Rangsang” sendiri membawa dualitas makna. “Tahta” adalah lambang kekuasaan, otoritas, dan tanggung jawab besar, sementara “Mas Rangsang” mengingatkan pada masa muda Sultan Agung yang masih dipenuhi ambisi, kepolosan, dan idealisme. Tari ini memunculkan dialektika batin, memperlihatkan bagaimana seorang raja juga manusia — rentan, bertanya-tanya, dan mencari pegangan dalam sunyi.

Pertunjukan ini menjadi semacam ruang refleksi, bukan hanya bagi karakter utama yang ditampilkan, tetapi juga bagi penonton: sejauh mana kekuasaan bisa sejalan dengan kemanusiaan? Apa harga dari sebuah tahta? Mampukah seorang manusia tetap utuh dalam pusaran ambisi dan beban sejarah?


Spiritualitas Sebagai Pusat Kesadaran

Sumber Foto: Tri Atmidini

Dalam sejarah, Sultan Agung dikenal bukan hanya sebagai tokoh militer dan politik, tapi juga seorang pemikir spiritual. Elemen itu diterjemahkan Swargaloka ke dalam gerak yang meditatif, ritmis, dan penuh pengendalian diri. Tari ini menyuarakan pesan bahwa tahta sejati berada di dalam, bukan di atas kepala — melainkan di hati yang bening dan jiwa yang sadar.

Gerakan dalam tari ini mencerminkan filosofi Jawa yang mendalam: cipta, rasa, dan karsa. Semuanya terajut menjadi satu melalui tubuh para penari yang menghidupkan makna-makna simbolik. Setiap tarikan napas dan lenggokan tubuh menyampaikan laku hidup sang raja — perjalanan dari ambisi ke kebijaksanaan.


Refleksi Zaman Kini dalam Bayang Sejarah

“Tahta Mas Rangsang” bukan sekadar pertunjukan sejarah. Ini adalah cermin bagi generasi kini, mengajak kita berpikir ulang tentang bagaimana kita memahami kepemimpinan, tanggung jawab, dan eksistensi manusia dalam dunia yang terus bergerak cepat. Tari ini menghadirkan kontemplasi, bukan hanya hiburan.

Di penghujung pertunjukan, para penari membentuk formasi siluet sang raja, hanya tampak dari bayangan dan cahaya. Sebuah ending yang puitis, seolah menyampaikan pesan bahwa jejak kepemimpinan sejati tidak selalu terlihat, tetapi terasa.


Swargaloka: Rumah Jiwa-jiwa Penari yang Pemberani

Sumber Foto: Tri Atmidini

Sanggar Tari Swargaloka kembali membuktikan bahwa mereka bukan sekadar komunitas seni tari — mereka adalah penjaga warisan budaya yang hidup, relevan, dan menyentuh. Tak hanya menyajikan pertunjukan, malam itu Swargaloka juga membuka ruang diskusi mengenai proses kreatif yang panjang dan penuh riset, memperlihatkan bahwa karya ini lahir dari ketekunan, penggalian nilai, dan kesetiaan pada akar budaya.

Ketika lampu panggung padam dan penonton berdiri memberikan standing ovation, satu hal menjadi jelas: “Tahta Mas Rangsang” telah menyentuh sesuatu yang lebih dalam dari sekadar mata. Ia menyentuh ingatan, batin, dan kesadaran.

Dan siapa pun yang hadir malam itu, mereka tidak pulang sebagai orang yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

http://azzarahanynf.blogspot.com/2025/03/pesona-balimau-tradisi-minangkabau.html

Hiburan Tuan Muda

 "Hiburan Tuan Muda": Ketika Panggung Jadi Cermin Sosial dan Kritik Anak Muda Jakarta Jakarta, Mei 2025 — Gemerlap cah...

tari dibulan ramadan