Mahasiswi Penerbitan Politeknik Negeri Media Kreatif

Senin, 02 Juni 2025

Menari Menembus Batas, Meretas Jejak di Panggung Dunia

Sardono W. Kusumo

Teras Berita:
Dikenal sebagai tokoh seni tari avant-garde Indonesia, Sardono W. Kusumo telah melampaui batas-batas tradisi dan menjelajah ranah-ranah eksperimental seni. Dari panggung kecil di Solo hingga ke pentas internasional, perjalanan seniman nyentrik ini adalah cerminan dari kegigihan, kepekaan sosial, dan dedikasi pada semesta budaya Nusantara.


Jakarta – Nama Sardono Waluyo Kusumo bukan sekadar tercetak dalam sejarah seni pertunjukan Indonesia—ia adalah simbol dari keberanian bereksperimen, berinovasi, dan berdialog lintas budaya. Lahir di Surakarta pada 6 Maret 1945, Sardono memulai kariernya sebagai penari klasik Jawa, namun segera menunjukkan ketertarikan untuk mengeksplorasi bentuk-bentuk ekspresi yang jauh melampaui pakem tradisi.

Sebagai alumnus Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) dan Universitas Indonesia, Sardono tak hanya terlatih dalam teknik tari, tetapi juga dalam berpikir kritis dan peka terhadap konteks sosial. Sejak tahun 1970-an, Sardono telah tampil di berbagai festival internasional dan berkolaborasi dengan seniman dunia seperti Peter Brook dan Rendra, menunjukkan bahwa tari adalah bahasa universal yang mampu menjangkau beragam audiens.


Merentang antara Tradisi dan Kontemporer

Salah satu kekuatan Sardono terletak pada kemampuannya mengolah seni tradisi menjadi karya kontemporer yang tetap berakar kuat pada budaya lokal. Ia belajar langsung dari maestro tari tradisional, namun tak segan mengawinkannya dengan filosofi modern dan pendekatan teater eksperimental.

Karyanya “Samgita Pancasona” (1971) adalah salah satu titik awal di mana ia menunjukkan gaya khasnya: menggunakan tubuh bukan hanya sebagai alat ekspresi estetika, tapi juga sebagai media renungan, perlawanan, bahkan kritik sosial. Dalam karya tersebut, ia mengeksplorasi konsep spiritualitas dan keabadian tubuh dalam budaya Jawa.


Tari sebagai Kritik Sosial dan Ekologi

Tidak hanya mencipta untuk seni, Sardono juga dikenal sebagai seniman yang peka terhadap isu lingkungan dan kemanusiaan. Dalam karyanya “Opera Diponegoro” dan “Meta Ekologi”, ia mengangkat persoalan kerusakan alam, eksploitasi budaya, dan konflik sosial.

Yang menarik, proses kreatif Sardono sering melibatkan masyarakat lokal dan komunitas adat. Ia pernah tinggal di Tenganan (Bali), Dayak Kenyah (Kalimantan), hingga kawasan pegunungan Merapi, menyerap kearifan lokal dan menjadikannya bagian dari pertunjukan. Baginya, tari bukan milik panggung elit, tapi milik kehidupan itu sendiri.


Panggung Dunia dan Penghargaan

Karya-karya Sardono telah dipentaskan di berbagai festival internasional, termasuk di Amerika Serikat, Jepang, Prancis, Jerman, dan Belanda. Ia menjadi seniman Indonesia pertama yang tampil di Festival d’Automne à Paris, dan dikenal sebagai perwakilan penting seni kontemporer Asia di dunia global.

Atas dedikasinya, Sardono dianugerahi berbagai penghargaan nasional dan internasional, termasuk Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres dari pemerintah Prancis dan Anugerah Kebudayaan dari Pemerintah Indonesia. Ia juga menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta dan sempat menjabat sebagai rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ).


Warisan dan Inspirasi

Hingga kini, Sardono tetap aktif berkarya, mengajar, dan membimbing generasi muda. Ia mendirikan Padepokan Seni Bagong Kussudiardja bersama rekan-rekannya, sebagai pusat pelatihan dan pengembangan seni interdisipliner. Ia percaya bahwa seni harus terus bersuara, menyentuh isu-isu nyata, dan menjadi ruang dialog antarbudaya.

"Tubuh manusia menyimpan sejarah, trauma, dan harapan. Tarian adalah cara kita membaca dan menyampaikan semua itu kepada dunia," ujar Sardono dalam sebuah diskusi seni di tahun 2019.


Dengan dedikasi yang tak pernah surut dan karya-karya yang menggugah pikiran, Sardono W. Kusumo bukan sekadar penari—ia adalah arsitek budaya yang menari di antara zaman, menggugat kenyamanan, dan menyalakan kesadaran melalui gerak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

http://azzarahanynf.blogspot.com/2025/03/pesona-balimau-tradisi-minangkabau.html

Hiburan Tuan Muda

 "Hiburan Tuan Muda": Ketika Panggung Jadi Cermin Sosial dan Kritik Anak Muda Jakarta Jakarta, Mei 2025 — Gemerlap cah...

tari dibulan ramadan